SIANG begitu panas menyengat para penjual dan pembeli di pasar, di bilangan Pekojan, Jakarta Barat. Di saat itu, seorang tukang cukur ngobrol dengan tukang kain.

“Ah, tumbenan amat nih hari lagi sepi,” keluh tukang cukur. “Dagangan lu rame, Jid?” Tanya tukang cukur pada tukang kain.

“Namanya juga usaha, ya kagak rame saban hari,” sahut pedagang kain yang tengah duduk sambil melipat satu dua pakaian.

Baca entri selengkapnya »

Pada tanggal 9 Juni 1971, bekas presiden Soeharto almarhum, pidato tanpa teks dalam rangka membuka Pasar Klewer di Surakarta, Jawa Tengah. Pidato ini banyak mendapatkan komentar dan menjadi bahan diskusi banyak kalangan.

Dan Soeharto sendiri rupanya amat berkesan dengan pidatonya ini, hingga dalam otobiografinya ditulis secara istimewa. Bunyi judulnya “Gagasan di Pasar Klewer”. Soeharto bilang dengan bangga dalam tulisan itu, “Pidato saya ini merupakan dasar politik pembangunan kita.”

Baca entri selengkapnya »

Wilayah Nusantara pasca kemerdekaan tidak kalah genting dengan masa penjajahan Belanda dan Jepang. Lantaran tidak semua kelompok lantas bersatu membangun Indonesia merdeka. Ada di antara kita yang ingin memisahkan diri dari kesatuan, termasuk dari kelompok Islam.

Kelompok Islam ini melontarkan tuduhan: Republik Indonesia (itu) kafir. Kelompok Islam ini ingin membubarkan Republik Indonesia dan menggantinya dengan Darul Islam (DI) tahun 1950-an.

Kartosuwiryo memimpin DI Jawa Barat, Kahar Mudzakar di Sulawesi Selatan, Ibnu Hajar mengomandani pemberontakan di Kalimantan Selatan.

Baca entri selengkapnya »

SUDAH menjadi kelaziman, tiap akhir tahun, pemerintah dari semua level dan semua departemen atau kementerian menurunkan iklan atau semacam laporan . Iklan tersebut dipasang di jalanan melalui baliho, koran atau majalah, media elektronik, hingga seminar-seminar.

Akhir tahun kali ini, saya tertarik dengan iklan Kementerian Agama RI yang diturunkan, paling tidak, di sebuah majalah terbitan Jakarta, minggu ketiga November. Iklan mereka berbentuk dua judul tulisan dilengkapi dengan dua buah foto. Dalam kesempatan ini, saya ingin memberikan catatan pendek untuk iklan kementerian yang menterinya berasal dari partai politik itu.

Baca entri selengkapnya »

Jakarta, NU Online

Rois Syuriah PBNU KH Abdul Muchit Muzadi menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Kerukunan Umat Beragama (KUB) sangat riskan karena menyiratkan intervensi negara terhadap sebuah kehidupan agama.

“Intervensi itu sangat dikhawatirkan, karena akan memicu munculnya persoalan baru ketika negara harus melakukan intervensi yang mengakibatkan kehidupan beragama menjadi kerdil,” katanya di Jember, Jumat.

Baca entri selengkapnya »

KESEDERHANAAN adalah pikiran dan sikap hidup yang merasa cukup. Dan kesederhanaan Abdurrahman Wahid hadir di tengah gerak budaya yang beranjak pada satu dimensi: matrialistis. Ia hadir di tengah ruang sosial-politik yang destruktif dan koruptif.

Di tengah itu semua, ia tampil dengan kesederhanaan di banyak aspek kehidupannya. Kesederhanaan Abdurruhaman Wahid menjadi konsep kehidupan yang dihayati dan dilakoni. Sehingga menjadi jati diri.

Kesederhanaannya menjadi kontras, tampil beda dengan arus utama kehidupan pada saat itu. Sehingga kesederhanaannya menjadi budaya perlawanan dan pembelajaran untuk kita semua. (HS)

“Kang, tolong pohon Kristen di samping masjid itu ditebang?” pinta Kiai Bakar pada seorang santri.

Santri yang disuruh bingung, tengok kanan tengok kiri. “Pohon Kristen? Apa maksudnya? Lagian itu pohon kesayangan Kiai Ahmad. Beliau sendiri yang nanem tiga tahun lalu,” gumam santri dalam hati.

Baca entri selengkapnya »

Kediri, NU Online

mbah kozinMushola itu kecil. Untuk sembahyang, mushola bercat putih itu tak bisa menampung lebih dari 50 orang. Lokasinya di kompleks Pesantren  Mahir ar-Riyadh, kampung Ringin Agung, Kencong-Kediri, Jawa Timur.

Tapi, di mushola kecil itulah, tinggal seorang kiai berumur 80 tahun. Kiai itu sehat, jelas bicaranya, dan pendengarannya masih bisa menangkap suara dengan baik. “Khozin, KH M. Khozin,” namanya, biasa dipanggila Mbah Khozin.

Ia melakukan aktivitas sehari-harinya di mushola: sembahyang, tidur, ngaji, wiridan, bersantai hingga terima tamu. Dikatakan para santrinya, di mushola itu pula Mbah Khozin bersholawat 25.000 kali sehari.

Rumah Mbah Khozin yang persis ada di samping mushola, hanya digunakan untuk ganti baju, makan, bertemu istrinya dan 4 anaknya. Mobil Nissan Cedric keluaran tahun 2000 pun jarang disentuh.  “Jarang sekali beliau keluar. Mobilnya ndak pindah-pindah, di sebelah utara rumah,” kata Zainul Abidin, santri Pesantren Mahir ar-Riyadh.

Ketika mushola sepi, Mbah Khozin hanya ditemani kitab-kitab yang menumpuk di atas meja. Sampul kitab-kitab itu lusuh dan pudar warnanya, tapi bersih, rapi, dan ada pulpen serta kertas oret-oretan.

Baca entri selengkapnya »

Rembang, NU Online

Selepas Taraweh, aula Pesantren Raudhotut Tholibin, Rembang, Jawa tengah, penuh. Ruangan-ruangan di sekitar aula juga dipadati para santri, termasuk di emperan dekat kamar mandi. Sebagian santri duduk di halaman pesantren beralaskan terpal atau sajadah. Serambi rumah almarhum KH Cholil Bisri juga dipenuhi para santri.

Malam itu, para santri sedang pengikuti ‘Pasaran’, istilah di pesantren untuk ngaji khusus di bulan Ramadhan. Mereka semua pegang kitab. Al-Hikam namanya.

Peserta pengajian bukan saja santri yang sehari-hari ngaji di situ, tapi juga orang umum yang datang dari luar pesantren, bahkan dari luar kota. Mereka datang dengan sepeda motor, ada juga sepeda ontel.

Baca entri selengkapnya »


Wong, Saya Enggak Pernah Berubah”*


Jangan sembarangan, Gus Dur masih pemimpin umat. Itulah setidaknya menurut pengurus Nahdlatul Ulama (NU) Cabang Lampung yang datang ke kantor Pengurus Besar (PB ) NU di Kramat Raya, Jakarta Pusat. “Akan hadir sedikitnya 50.000 umat kalau Gus Dur bisa datang,” bisik salah seorang di antara rombongan itu, yang mengundang Abdurrahman Wahid untuk hadir dalam sebuah pertemuan umat di Lampung, nanti.

Menerima pengurus NU dari berbagai daerah, itulah bagian dari kesibukan Abdurrahman Wahid di Kantor PBNU sehari-hari. Dan, Abdurrahman Wahid tetaplah Gus Dur. Maksudnya, di antara acara “serius” itu, biasa, ia masih bisa menemukan waktu longgar, misalnya hari itu, 7 November, sebelum rombongan Lampung datang. Ketua Tanfidziah Pengurus Besar NU itu sempat “olahraga” sejenak. Ia mondar-mandir bertelanjang kaki dari ruangannya ke ruang tamu sambil menyiulkan lagu Barat Ramona. Badannya yang ekstrasubur tak menghalangi geraknya. Langkahnya cepat dan lincah, walaupun waktu itu ia tak mengenakan kacamata supertebal-nya, ia tak pernah “salah jalan”. Beberapa kali, ia memiringkan badannya dan nyaris menabrak lemari, ternyata selamat saja.

Baca entri selengkapnya »